Author : Yun Jaejoong
Cassiopeia
Still 2nd Half (My
Creation)
Welcome
To Mahameru!
Sebelumnya, ada
yang perlu diketahui, disini pendakiannya hanya berenam, tidak mengikut
sertakan anggota Maranon, ceritanya, mereka membatalkan pendakian untuk bulan
ini, sementara Rei tidak mungkin mengingkari janjinya untuk membawa mereka
keGunung yang telah dijanjikannya.
Kali ini sebelum
pendakian menuju puncak Mahameru atau yang dikenal juga sebagai gunung Semeru,
mereka (Bima,Rangga,Rei, Langen,Feby dan Fani) berkumpul dirumah Bima setelah
membeli perlengapan dan…oke…tentu saja setelah melakukan ritual penyelamatan
kepada Raden kita terhormat yang darah birunya kental sehingga membuat darah
itu saking birunya terlihat berwarna HITAM! Yak! Bener banget ! Raden Ajeng
Feby-yang dulu pernah berubah sementara, sekarang kembali kesifat ibu
bangsawannya yang sedang berdiri memerhatikan wanita setengah baya yang sedang
memasak didapur tanpa berniat membantu.
“liat
apa Fan?” tanya Langen disela-sela kesibukannya memasukkan barang-barang yang
mereka butuhkan. Sejak sampai dirumah Bima tadi, aktifitas Fani hanya satu, yaitu membaca lembar demi
lembar kertas yang sekarang ada digenggamannya. Belum pernah Langen melihat
Fani seserius ini dalam membaca sesuatu, baca buku mata kuliah aja dia jarang
ngelihat, dan sekarang? Sebenarnya apa yang sedang dibacanya?. Lama tidak
mendapat respon dari Fani, Langen menghentikan acara beres-beresnya, lalu
menghampiri Fani yang sedang duduk manis di sofa ruang tamunya Bima. Sementara
ketiga Pangeran itu, entah pergi kemana meninggalkan tiga orang cewek dirumah
kediaman sang BIMASENA!
“oii! Fan! Budek
lo ya? Gue tanya nggak jawab juga, elo baca apa sih serius amet” ujar Langen
yang langsung mengambil kertas itu dari tangan si pemilik. Kontan, Fani
langsung mengangkat wajahnya, memandangi Langen.kesal.
“La, elo
apa-apaan sih, gue belum selese bacanya tau” keluh Fani sambil mencoba
mengambil miliknya kembali.
“baca barengan
aja” Langen segera duduk disofa disebelah tempat duduk Fani tadi, lalu membaca
bagian depan kertas itu. “SEBUAH SISI LAIN DARI PUNCAK MAHAMERU” Langen mengangkat alisnya, lalu menatap Fani
dengan ekspresi bingung. Fani mengernyitkan dahi, mengetahui apa yang ada
dipikiran Langen.
“apa? Itu gue
temuin di Blog nggak tau namanya” jawab Fani tanpa ditanya terlebih dahulu.
“bukan itu, ini beneran?
Gunungnya begini?” tanya Langen mengalihkan tatapannya kearah lembaran kertas
setelah dibukanya lagi lembaran kedua.
“iyalah, elo
nggak liat tuh sejarahnya? Baca dong! Liat nih!” Fani membuka lembaran
selanjutnya, membacakan bagian dari sejarah kecil gunung itu. “setelah nakula
dan sadewa tewas, si Arjuna juga ikut tewas karena kedinginan…” Fani tidak
melanjutkan kalimatnya, melainkan menatap Langen, Ngeri. “bayangin deh, dia aja
yang cowok,terus udah dari jaman kerajaan gitu tewas karena kedinginan? Gimana
kita coba? Kebayang nggak sih?” tanya Fani lebih kepada dirinya sendiri, dia
melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. “Bi…” terdapat jeda, Fani memerhatikan
sekelilingnya, memastikan tiga cowok itu belum kembali, setelah puas dengan
keadaan disana, dia kembali memerhatikan kertas itu. “Bima yang merasa tubuhnya
paling gede, karena kesombongannya juga tewas waktu nyampe sana!” Fani menatap
Langen lagi. “gimana dong? Nasib kita gimana?” tanya Fani menatap hawatir
kearah Langen.
“gue juga nggak
tau, sejarah disitu udah jelas banget nyebutin orang kuat, lincah, atau kekar
sekalipun bisa tewas sebelum sampe sana” jawab Langen menegaskan, dia terlihat
sedikit hawatir seperti Fani.
“Baca apaan sih,
serius amat?” tanya Rei yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya dan
langsung mengambil paksa kertas yang sedang didiskusikan oleh Langen dan Fani,
sejenak, Rei membaca bagian depan judul kertas itu, lalu membuka lembaran demi
lembaran. Tawa tak tertahankanpun menyembur keluar tanpa memerhatikan wajah hawatir
didepannya. “ini..ini siapa yang punya?” tanya Rei masih tertawa.
“gue yang punya”
ujar Fani kesal melihat tingkah laku Rei yang sudah keterlaluan, seakan-akan
lembaran yang dipegangnya adalah sebuah
lelucon dari Abu Nawas.
“Bim, liat deh,
apa yang istri elo baca” kata Rei, lalu melemparkan kertas itu kearah Bima yang
sedang mendekat kearah mereka. Bima
menerima kertas itu. bingung. Mau nggak mau dia penasaran juga apa yang membuat
Rei sampai tertawa sekeras itu. Bima melakukan hal yang sama, membuka kertas
demi kertas, hanya saja responnya berbeda, dia memilih tersenyum
selebar-lebarnya kearah Fani, lalu mendekati cewek itu.
“Fani
sayaaaaang, untuk apa baca hal beginian?” tanya Bima yang langsung merangkul
cewek kesayangannya itu.
“eh…yaaa…abisnya
kamu nakutin sih, bilang track-nya susah
abis itu ngeluarin asep beracun lagi, kalo kehirup kan bisa langsung mati”
jawab Fani seadanya, kembali Bima tersenyum lalu semakin mempererat
rangkulannya.
“kalo mati, kita
bisa mati sama-sama lo, pegangan tangan seperti romeo dan juliet” jelas Bima
sambil tersenyum penuh kemenangan.
Berhasil membuat dua cewek didepannya menyesal telah menyetujui pendakian yang
menurut mereka adalah menantang maut.
“Bima elo jangan
nakutin cewek gue juga dong!” teriak Rei kepada Bima sambil menampilkan senyum
jailnya, lalu merangkul Langen dan membawanya ketempat semula-tempat
beres-beres tadi-. “jangan takut, ada aku yang jagain, okay?” kata Rei penuh
sayang sambil menepuk pelan kepala Langen. Langen hanya bisa pasrah, lagipula dia
juga pernah melakukan aksi menantang mautnya, dan kali ini dia juga pasti bisa
melewatinya.
“sayang, seperti
yang udah aku jelasin, tracknya emang susah, tapi percaya deh, pendakian kali
ini bener-bener santai, enjoy deh” jelas Bima menghentikan senyum kemenangannya,
jadi senyum lembut.
“Bim,
tapi…gimana kalau disana ada apa-apa?” tanya Fani lagi, berusaha membatalkan
acara yang imposible banget untuk dibatalin. Bima mendesah, lalu merengkuh Fani
dalam dekapannya, diciumnya puncak kepala Fani dengan gemas sekaligus sayang.
“ck! Aku akan
ngejaga kamu, tenang deh, lagipula Bima yang dimaksudkan disini…” Bima
melepaskan pelukan itu lalu mengamati teks yang sepintas dibacanya itu, lalu
menatap lurus-lurus kearah Fani. “Bima yang sombong, yang hanya mengandalkan
kekuatannya, dan sekarang…Bima yang didepanmu ini berbeda dengan Bima yang
sudah lama udah mati, Bima yang sekarang, akan selalu jagain kamu, jadi..jangan
takut lagi yah?” Bima memegang kedua bahu Fani lalu mengecup keningnya.
“woi! Elo berdua
mesraannya ditunda dulu gih! Tas elo nggak ada isinya tuh!” teriak Rangga yang
sudah berdiri disamping Ransel-milik Bima dan Fani- bersama Feby yang
memandanginya dengan heran. Dulu pemandangan seperti ini sangat langka dalam
kehidupan Fani-Bima, namun sekarang? Pemandangan itu seperti menjadi
biasa-biasa saja dan menjadi hal yang wajar.
***
Setelah
sampai di Ranu Pani, desa terakhir di kaki semeru-Di sini terdapat Pos
pemeriksaan, terdapat juga warung dan pondok penginapan- mereka memutuskan
untuk mengunjungi dua danau yang memang ada di desa ini, yakni danau Ranu Pani
yang lebarnya sekitar 1 Ha dan danau Ranu Regulo yang lebarnya kurang lebih
0,75 Ha.
“gimana? Apa
seperti yang kalian bayangkan sebelum berangkat tadi?” tanya Rei kepada dua
cewek yang dengan girangnya merentangkan kedua tangan mereka, menikmati
segarnya udara di sekitar danau Ranu Pani. Mereka berdua mengangguk tanpa
menatap kearah Rei, mereka memejamkan matanya, menghirup udara bebas pegunungan
yang jauh lebih nikmat dari pada polusi yang ada disekitar Ibukota kita itu.
Bima menepuk
bahu Rei. “percuma, ntar aja deh ngomongnya, ikut nikmatin aja” kata Bima lalu
merentangkan tangannya sambil berbaring direrumputan hijau menatap langit biru
nun jauh disana. Rei mengikutinya. Sementara Rangga-Feby sedang asik berduaan
ditepi danau, membicarakan entah apa, yang jelas mereka tampak sangat menikmati
kebersamaan itu.
“Mas, danau ini
indah ya? Hum….bedanya jau banget yah sama danau buatan” ujar Feby tersenyum
sambil menatap Rangga.
“iyalah Feb,
nggak akan sebanding walaupun kamu buat danau di sekitar rumahmu” jawab Rangga
balas tersenyum. Feby mengalihkan pandangan kebelakang mereka, berdiri Fani dan
Langen, dan dua cowok yang tengah berbaring.
“senang melihat
mereka seperti itu, sukur ya Mas, nggak ada ribut-ribut lagi, tapi bosen juga
kalo mereka mesraannya segitunya, tanpa memikirkan Sikon dulu” ujar Feby
berpendapat, Ranga hanya bisa tersenyum mendengarnya.
“mau seperti
itu? kita juga bisa semesra mereka?” goda Rangga sambil tersenyum jail kearah
Feby. Feby memukul lengannya pelan.
“Mas Rangga!”
bentak Feby sedikit mengeraskan volume suaranya.
“iya deh, Maaf,
udah..mereka jangan diurusin lagi ya” ujar Rangga lalu kembali dengan
aktivitasnya semula.
Setelah
merasakan keindahan pertama di gunung itu, mereka melanjutkan perjalanan,
menuju gapura “selamat datang”, terus kekiri menuju perbukitan, disini juga
terdapat jalan pintas yang biasa dilalui oleh pendaki local,yang tentu saja
curam. Dan untuk kali ini mereka tidak akan menggunakan jalur itu, karena
sekarang bukan seperti pendakian sebelumnya yang menguras energy dan emosi,
pendakian sekarang akan berjalan santai tanpa memperhitungkan waktu lagi.
Jalur awal landai, menyusuri lereng bukit yang
didominasi dengan tumbuhan alang-alang. Tidak ada tanda penunjuk arah jalan,
tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100m. Banyak terdapat pohon
tumbang, dan ranting-ranting diatas kepala.
Setelah berjalan sekitar 5 Km
menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis,
Bima menghentikan langkahnya, berjalan menuju kearah bunga edelwis yang tumbuh
didekitar mereka, lalu mengambil empat tangkai bunga itu dan menyerahkannya
kepada Fani.
“Fan! Sini deh, dulu… aku selalu
ngasih kamu bunga ini di rumah, dan sekarang…bunga ini asli baru dipetik, jadi…
harus kamu simpan, okay?” tanya Bima sambil memberikan bunga itu kepada Fani.
Fani mengangguk lalu tersenyum manis kearah Bima.
“Ehmmm…” tanpa diduga Langen dan
Feby berdeham bersamaan, mereka saling pandang lalu tersenyum kikuk.
Seolah mengerti Rei dan Rangga
melakukan hal yang sama, memetikkan dua helai bunga kepada pasangan
masing-masing. Setelah melaksanakan ritual pemberian bunga kepada masing-masing
pasangan mereka melanjutkan perjalanannya.
Setelah melewati lereng bukit itu,lalu
akan sampai di Watu Rejeng. Disini terdapat batu terjal yang sangat indah dan
Pemandangan yang juga sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit yang ditumbuhi hutan cemara
dan pinus. Kadang kala juga dapat menyaksikan kepulan asap dari puncak
semeru. Kemudian menuju Ranu Kumbolo yang juga tidak kalah indahnya dengan
danau-danau yang telah mereka lewati.
Di Ranu Kumbolo mereka
beristirahat dan mendirikan tenda, disini juga terdapat shelter (pondok
pendaki), mereka tidak akan meninggalkan keindahan yang telah disediakan di
gunung ini. Bima, Rei dan Rangga mendirikan tenda sementara tiga cewek itu
memasak untuk makan malam nanti, karena tidak mungkin mereka akan melanjutkan
perjalanan malam-malam begini, karena
kalau ia, tujuan utama mereka tidak akan tercapai, karena pada pagi harinya dari
sela-sela bukit dapat menyaksikan matahari
terbit yang tak kalah indahnya dengan Sunrise yang ada dipantai.
***
Paginya, Setelah puas menikmati
SunRise yang sangat indah, walaupun memang lebih indah dipantai daripada
disela-sela perbukitan seperti ini,mereka meninggalkan Ranu Kumbolo dan akan mendaki
bukit terjal setelahnya, dengan pemandangan yang sangat indah di belakang ke
arah danau.
“kalian bertiga jangan liat kearah
belakang aja, didepan juga nggak kalah indahnya, sini deh” ajak Rangga kepada
tiga cewek yang masih terpana dengan keindahan yang ada di Ranu Kumbolo, mereka
membalik badannya lalu menuju tiga cowok yang tidak terlalu jauh dari arah
mereka.
Bima menatap tiga cewek yang ada
dibelakangnya, lalu melangkah kesamping, menyisikan ruang untuk ketiga cewek
itu agar berdiri sejajar dengannya,dengan Fani berdiri tepat disamping
kirinya,diikuti oleh Lngen dan Feby. “Di depan bukit itu ada padang rumput luas, namanya oro-oro ombo” kata Bima menjelaskan sambil
menunjukkan arah yang dimaksud. Oro-oro ombo itu dikelilingi oleh bukit dan
gunung dengan pemandangan yang sangat indah, padang rumput luas dengan lereng yang
ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa. Dari balik Gunung Kepolo tampak puncak
Gunung Semeru menyemburkan asap wedus gembel.
“itu gas beracunnya?” tanya Fany
mendongak kearah Bima, Bima menatapnya lalu tersenyum.
“yah,tapi masih ada yang lebih
mematikan daripada itu” jawab Bima sambil tersenyum, sementara Fany sudah
bergidik ngeri mendengar kata Kematian yang diucapkan Bima. Rei meliriknya
kesal, sudah berapa kali diperingatkan kepada cowok itu supaya tidak
membicarakan hal yang akan membuat ketiga cewek itu tegang. “tenang aja
sayaaang, yang peting nikmatin aja ya” ucap Bima menenangkan lalu merangkul
Fany sambil menikmati udara pagi pegunungan.
Setelah itu, mereka memasuki hutan
Cemara yang terkadang dijumpai burung dan kijang. Daerah ini dinamakan Cemoro Kandang. Dari cemoro kandang, mereka
akan sampai di Pos Kalimati yang berada pada ketinggian 2.700 m, disini juga dapat
mendirikan tenda untuk beristirahat. Pos ini berupa padang rumput luas di tepi
hutan cemara, sehingga banyak tersedia ranting untuk membuat api unggun.
“istirahat disini dulu, sorenya
baru ngelanjutin perlanjalan” kata Bima yang bertindak sebagai pemandu.
“kenapa?” tanya Langen kemudian
“karena kita sampai di Arcopodo
siang hari, kalau siang hari anginnya cendurung ke arah utara menuju puncak
membawa gas beracun dari Kawah Jonggring Saloka.” Jawab Rei yang bertindak
menjadi juru bicaranya Bima untuk menjawab pertanyaan dari ceweknya sendiri.
Di Kalimati dan di Arcopodo banyak
juga terdapat tikus gunung.
Untuk menuju Arcopodo berbelok ke kiri (Timur) berjalan sekitar 500 meter,
kemudian berbelok ke kanan (Selatan) sedikit menuruni padang rumput Kalimati.
Arcopodo berjarak 1 jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang sangat curam,
dengan tanah yang mudah longsor dan berdebu. di Arcopodo juga terdapat tempat
untuk berkemah, tetapi dengan kondisi tanahnya kurang stabil dan sering longsor,
sebaiknya niat untuk berkemah disini, diurungkan saja dan juga Sebaiknya
menggunakan kacamata dan penutup hidung karena banyak abu beterbangan. Arcopodo
adalah wilayah vegetasi
terakhir di Gunung Semeru, selebihnya akan melewati bukit pasir.
***
Jam setengah
empat, mereka kembali melakukan perjalan menuju puncak Mahameru, diperlukan
waktu 3-4 jam untuk sampai disana dari Arcopodo, mereka akan melewati bukit
pasir yang curam yang mudah merosot dan diperlukan kehati-hatian untuk
melewatinya. Bima mengambil waktu pada jam setengah empat agar tidak melewatkan
sesuatu yang menakjubkan dari gunung itu sendiri.Kemampuan cewek memang tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh makhluk Tuhan yang berkelamin cowok! Disepanjang perjalan ada kalanya diantara cewek tiga itu sering tersandung, atau bahkan bisa robah sewaktu-waktu, terutama Raden Feby yang terhormat, walaupun pernah melakukan pelatihan sebelumnya, kekuatan mereka belum bisa menyeimbangi ketiga cowok itu, maka dari itu tiga cowok itu selalu bersiap untuk menolong mereka kalau sewaktu waktu mereka akan roboh, dan untuk perjalanan kali ini, benar-benar menguras energy, tak ayal beberapa kali mereka beristirahat dibawah pohon rindang yang tanahnya tidak terlalu curam.
Lama berjalan akhirnya apa yang
ditunggu-tunggu mereka telah terbit menampakkan keindahan langit yang dipadukan
warna jingga dari matahari yang sedang tenggelam, mereka menaiki bukit untuk memperindah
pemandangan yang mereka liat, dua gunung yang menjulang tinggi menembus awan,
dan asap yang hampir selalu mengepul dipadukan oleh keindahan Sunset.
“suka?” tanya Bima berdiri
disamping Fani yang sedang menikmati pesona alam di puncak Semeru. Fani
mengangguk tidak bisa berkata-kata lagi karena kagum, pemandangan didepannya
sangat eksotis, ingin rasanya dia mempunyai rumah di puncak semeru supaya bisa
menikmati alam bebas sepuasnya.
“tunggu disini ya, kami mau cari
kayu bakar” ujar Rei kepada mereka bertiga, Langen dan Fani mengangguk cepat.
Sementara Febi memilih mengikuti sang pujaan hati.
“aneh tuh cewek, pergi cari kayu
aja harus ikut” komentar Langen melihat kepergian keempat cowok itu.
“iyya, kaya’nya profesi kita udah
berubah dari mahasiswa jadi penjaga tenda” Fani menggeleng lalu tersenyum
simpul.
“kita sih masih mending, dari pada
mereka? Pemulung kayu!” Langen tertawa mendengar kalimat yang diucapkannya
sendiri.
“ketauan Rei, baru tau rasa lo”
ujar Fani ikut tertawa kecil, mereka berdiri tidak jauh ditenda, masih
menikmati keindahan Mahameru di malam hari.
“elo cewek
yang waktu itu kan?” tanya salah seorang pendaki yang semula berdiri tak jauh
dari dua cewek itu, sekarang tepat berada disamping Langen dan Fany.
Mereka
menoleh kearah cowok tadi, mereka mundur kebelakang tersentak kaget mengingat
wajah didepannya, rombongan pendaki yang sempat melihat-apa yang seharusnya
hanya boleh dilihat oleh Bima dan Rei-mereka melakukan aksi gila-gilaan yang
menyebabkan perang hebat antara kubu Bima-Rei dengan Langen-Fani.
“yak!
Bener kan? Nggak salah lagi!” cowok itu tersenyum kearah dua cewek itu, lalu
menoleh kearah teman-temannya. “woii! Ada cewek yang waktu itu! sini! Cepetan!”
teriak cowok itu lagi kepada empat temannya yang sedang melakukan aktifitas
masing-masing, ada yang memasak air, makan, dan kegiatan lainnya, ada juga yang
memang-entah melamunkan apa-hanya duduk santai didepan api unggun.
Mendengar
teriakan panggilan dari temannya, empat cowok itu menoleh, seakan mengerti dengan
kedipan mata temannya-cowok disamping Langen dan Fani-mereka menghentikan
aktivitasnya semula lalu berjalan bersamaan menuju asal suara.
Dan,
okay..yang satu ini jangan ditanya lagi, wajah kedua cewek itu sudah memerah
karena malu, ingin rasanya mereka menceburkan diri kedalam kawah Semeru itu
untuk menutupi wajah mereka.
“La,
gimana nih, sumpah! Suer! Tekewer-kewer dah! Gue?! Asli! Malu banget!” ujar
Fani didepan telingan Langen sambil menatap sekeliling mereka. Tidak ada sama
sekali tanda-tanda kemunculan tiga cowok dan satu cewek yang entah pergi kemana
sejak tadi, meninggalkan mereka berdua dengan tugas yang paling mulia yaitu
menjaga tenda dari serangan iblis seperti nyamuk atau binatang membahayakan
atau bisa juga dari pencuri yang itupun kalau ada yang berminat mengambil sisa
makanan dari ransel mereka. Hubungan Feby-Rangga-sejak kejadian waktu
itu-semakin lekat saja, seolah tidak bisa dipisahkan, kemanapun Rangga atau
Feby pergi, mereka akan selalu bersama dan jadilah sekarang dia juga
menyibukkan diri untuk mengikuti calon suaminya MAS RANGGA untuk pergi entah
kemana.
“sama! Gue
juga malu! Banget malah, empat manusia itu kemanasih?” tanya Langen mengikuti
arah pandang Fani mencari-cari tanda kehidupan empat orang dari kubu mereka.
Lama menengok kiri-kanan-depan-belakang yang dicari tidak muncul-muncul juga.
“wow!
Nggak nyangka ya? Kita bisa ketemu lagi” ujar salah satu cowok paling tinggi
diantara teman-temannya yang sudah tiba ditempat mereka.
“suer deh,
kalian berdua…” salah satu dari mereka-cowok yang memakai mantel coklat-
mengedipkan mata kearah teman yang lainnya, mengisyaratkan agar melanjutkan
aktivitas barunya-menggoda dua cewek didepannya-.
“Menggiurkan!
” ujar yang lainnya dengan senyum semerekah Raflesia Arnoldi!
“nggak
berminat buka-bukaan lagi nih? Mumpung nggak banyak orang lo” tawar cowok yang
paling tinggi itu sambil berjalan mendekati Fani.
“kalian
jangan kurang ajar ya!” Fani memberanian diri untuk melawan karena cowok tinggi
itu semakin mendekeat kearahnya. Bima!
Kamu dimana sih! Keluhnya dalam hati.
“kurang
ajar? Yok! Kita kurang ajar ya?” tanya cowok yang merasa tersinggung dengan
ucapan Fani kepada salah satu temannya.
Cowok yang
bernama Yoyok itu tersenyum sinis. “gitu? Bukannya yang kurang diberi ajaran
itu, elo berdua?” tanyanya balik
“heh! Jaga
ucapan lo!” bentak Langen mulai emosi, mulai mempertahankan harga dirinya
sebagai pewaris IBU KITA KARTINI.
“cewek
manis kaya’ elo berdua nggak boleh lo ngasarin orang… cocoknya MANISIN ORANG!”
kata cowok yang senyumnya semerakah Raflesia Arnoldi itu sambil menekankan dua
kata terakhirnya itu, dia mengeluarkan tawa kecil dari mulutnya, menatap Langen
dengan sorot mata meremehkan, dia berjalan, melangkah mendekati Langen. “Yok!
Gue mau yang ini! Lebih seksi!” ujarnya lagi tanpa menoleh kearah temannya.
Sekarang cowok itu tepat berada didepan Langen, menutupi semua pandangannya
dengan tubuh kekar didepannya.
Rei!tolongin! teriaknya dalam hati, berharap
pacarnya itu segera membawanya keluar dari situasi ini.
Wajah dua
cewek itu memucat karena takut, ditambah dinginnya malam yang merayapi tubuh
dan membuat aliran darah mereka seolah membeku.
“yah kalo
elo ambil semua, gue dapet yang mana dong?” tanya Yoyok kepada dua cowok yang
sudah menuju mangsa masing-masing.
“jadi
penonton aja Yok!” sahut teman yang berdiri disampingnya. Yoyok mengangguk lalu
tersenyum sinis.
Ini balasan karena cowok kalian udah berani macem-macem sama gue!
Cowok
tinggi itu menggerai rambut Fani, lalu menciumnya helai demi helainya. Dengan
cepat Fani menepis tangan cowok itu, lalu mendorongnya kebelakang.
“elo
jangan berani macem-macem ya!” ancamnya. Cowok itu menatap lurus kearah Fani,
tanpa diduga dia langsung menarik Fani lalu memeluknya erat, Fani berusaha
melepaskan diri, Langen yang melihat kejadian itu juga berusaha menolongnya.
Tidak lama kemudian cowok yang tadi berada didepan Langen berusaha menciumnya.
“woi!
Brengsek!” teriak Bima yang baru sampai ditempat kejadian, dia membuang begitu
saja kayu bakar yang dibawanya, bersama Reid an Rangga, mereka menghajar satu-satu
dari lima orang itu, menghujaninya dengan pukulan yang tak termaafkan. Setelah
lima orang itu memutuskan untuk menyerah, mereka melarikan diri kearah tenda
yang tidak terlalu jauh dari tenda milik Bima dan yang lainnya.
Mereka
menuju pasangan masing-masing.
“Rei…”
sebelum Langen sempat meneruskan kalimatnya Rei langsung membenamkan wajahnya
Langen didadanya. Rei memilih diam, tidak ingin mengatakan apa-apa, dadanya
sesak melihat Langen diperlakukan seperti itu.
Sementara
itu, Fani langsung memeluk Bima ketika cowok itu sudah berdiri depannya.
“kenapa pergi? kenapa telat dateng!” tanyanya disela-sela tangisnya, Fani
mengalungkan tangannya dileher Bima menyembunyikan wajahnya disana. Tadi, dia
sangat ketakutan, dia tidak tau harus bagaimana, selain mereka dan lima cowok
itu, tidak ada lagi yang memasang tenda disana. “a…aku nggak tau apa yang
terjadi kalau kamu nggak dateng”.
Hati Bima
terasa sakit mendengar kata-kata yang keluar dari cewek yang tidak lama menjadi
miliknya itu, dia menyesali perbuatannya sendiri, meninggalkan cewek itu
ditempat yang baru dikunjunginya. “udah! Jangan bicara lagi, aku minta maaf”
kata Bima merasa bersalah, sambil mengelus kepala Fani. Fani mengurai
pelukannya, menatap Bima dengan eksprsi memohon, memohon agar dia tidak
meninggalkannya lagi. Bima menyeka air mata Fani.
“janji ya?
Jangan tinggalin aku lagi”
Bima diam,
tidak menjawab permintaan Fany, dia hanya menatap lurus kearah bola mata cewek
itu, tanpa diduga, Bima menarik Fani, menguncinya dalam pelukannya. Rasa bersalahnya
membuatnya tidak ingin jauh lagi dari cewek itu.
“ayo makan
dulu” ajak Febi yang sudah menyiapkan makanan bersama Rangga.
***
Sejak
kejadian diganggunya dua cewek itu, Bima-Rei memilih untuk diam, tidak ingin
berbicara panjang lebar dengan pasangan masing-masing.
“yang!
Dari tadi diem mulu, kenapasih?” tanya Langen menepuk pelan bahu Rei. Rei
menoleh dan hanya menyunggingkan senyum tipis diwajahnya, dari bola matanya
terpancar raut kekecewaan yang masih belum bisa diikhlaskan sampai sekarang,
begitu juga dengan Bima, sifat dua cowok itu benar-benar aneh, padahal
sebelumnya mereka tidak pernah seperti ini, apalagi alasan yang membuat mereka
tidak ingin berbicara dengannya? Mereka sudah berdamai dan saling memaafkan,
tapi sekarang? Ada apa dengan dua cowok itu?
“Kita
turun sekarang” kata Bima dingin.
“Rei,
kenapa nggak bicara-bicara juga? Kamu marah? Karena apa?” tanya Langen yang
masih tidak terima didiamkan seperti itu.
“sepertinya
keadaan berbalik lagi Feb” kata Rangga menoleh kearah Feby yang bersiap untuk
turun disampingnya. Feby mengangguk.
“iya Mas,
udah deh, bosen aku liat mereka seperti itu terus, mereka bukan anak kecil
lagi, dan sekarang saatnya mereka untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri”
ujar Feby yang disambut dengan anggukan persetujuan dari Rangga.
“Ya udah,
kita turun duluan aja, biar mereka belakangan” Rangga merangkul bahu Feby, lalu
berjalan mendahului Bima.
“Bim, dari
tadi kamu nggak berminat nih ngambil foto kita disini, pemandangannya lagi
bagus lo…” goda Fani meraih lengan Bima, Bima menoleh, dilepaskannya genggaman
Fani dari lengannya,dengan cepat diciumnya kening gadis itu lalu ditepuknya
kepala Fani pelan, Fani hanya bisa melongo heran dengan yang dilakukan Bima
padanya, tanpa tersenyum seperti biasanya, Bima berjalan, memimpin untuk turun
dari puncak semeru ini. Rei mengikuti tanpa menjawab pertanyaan Langen.
“Rei, kamu
kenapasih?!” tanya Langen yang sudah tidak sabar dengan perilaku Rei yang
menurutnya kekanakan itu.
Rei
mendesah, lalu menatap kearah Langen “aku belum bisa nerima itu, setiap mikirin
apa yang udah kamu lakuin digunung dulu…itu sebabnya kan? Udah berapa kali aku
peringetin jangan melakukan hal itu, dan kamu masih saja terus….hmmm…udah lah,
ayo pulang” Rei berbalik lalu mengikuti Bima.
“Fan,
kenapa kaya’ gini lagi?” tanya Langen menatap sedih sahabatnya. Sepertinya Rei
lah yang paling terhina oleh kejadian itu. Fani merangkul Langen.
“nggak tau
juga La, elo liat sendiri kan? Bima juga kaya’ gitu” keluh Fani “mending ikutin
mereka ja dulu, ayo” ajak Fani kepada Langen
“aduh!
Bentar Fan! Perut gue sakit banget!” langen menundukkan tubuhnya sambil
memegangi perutnya yang sakit.
“loh? Tadi
nggak kenapa-kenapa? elo lagi Mens ya?” tanya Fani yang ikut menunduk untuk
melihat raut wajah Langen.
“iya nih!
Sumpah, perut gue sakit banget!” rintih Langen, dia tertuduk, masih memegangi
perutnya.
“aduh,
gimana dong, obatnya ada di Ransel yang dibawa Bima, eh ya…bentar deh, tunggu
disini,gue nyusul Bima bentar” tanpa menunggu respons Langen, Fani berlari
dikegelapan malam, menjejari langkah panjang cowok yang tidak jauh dari mereka.
“Bima!
Rei! Tunggu!” kata Fani sedikit mengeraskan suaranya. Namun tidak ada jawaban
dari dua orang didepan, Fani mempercepat langkahnya tidak peduli dengan jalan
terjal yang dilewatinya. “Bim! Bima! Aww!” saking cepatnya berlari di jalan
menurun itu, Fani tersandung oleh ranting patah yang berserakan disekitar jalur
pendakian. Fani berguling ditanah, tidak bisa menolong dirinya sendiri,
tubuhnya dengan mudah melayang jatuh, ketika keseimbangannya sudah tidak bisa
dijaga lagi. Bima menghentikan langkahnya lalu menoleh kearah suara gaduh
dibelakangnya. Tanpa berpikir lagi, Bima berlari kearah Fani yang tertelungkup
di lereng gunung.
“fan…kamu…kamu
nggak apa-apa?” tanya Bima hawatir, Bima memegang bahu Fani, menempelkan
tangannya diwajah cewek itu. Fani yang kesal dengan tingkah Bima sebelumnya,
menepis paksa tangan yang menyangganya itu.
“kenapa
kamu egois sekali!” bentak Fani sambil memukul dada cowok itu, air matanya
sudah metes, bukan hanya karena perilaku Bima yang aneh, melainkan karena
perihnya luka yang berada disekitar tubuhnya.
“Fan? Elo
nggak apa-apakan?” tanya Rei yang baru saja sampai ditempat Fani. Dengan kesal
Fani mendongak menatap tajam kearah Rei.
“apa-apa
lah?! Begok banget sih lo!”
Kalimat
tadi membuat Bima tertawa kecil. “kenapa ketawa? Lucu kalo ngeliat aku jatuh!”
bentak Fani lagi, Bima menghentikan tawanya, berbalik menatap tajam kearah
Fani, Fani mengalihkan tatapannya kearah Rei, dia masih belum berani membalas
tatapan Bima. “Langen sakit tuh, elo berdua emang nggak punya perasaan!” tegas
Fani lebih menyalahkan Bima namun Rei lah yang menjadi korban kambing hitam
Fani. Tanpa memperdulikan ucapan Fani, Rei berlari menuju tempat mereka semula.
“udah
berhenti marahannya?” tanya Bima menatap Fani dingin.
“walaupun
aku jatuh ke jurang juga kamu nggak akan pedulikan?!” tanya Fani menatap kearah
lain.
“loh? Kamu
bicara sama siapa yang? Aku ada didepan lo bukan disamping kamu” tanya Bima
dengan seulas senyum geli tersungging dibibirnya. Fani menatapnya kesal.
“iya! Aku
bicara sama makhluk gede berbulu seperti manusia kingkong!” ujar Fani yang
setelah mengatakan hal seperti itu, langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
“ulangi?
Kamu bilang apa?” Tanya Bima tak kalah dingin dengan udara malam yang menusuk
tulang. Bima mengangkat dagu Fani menjajarkannya dengan wajahnya. “liat sini”
dengan terpaksa Fani menatap takut-takut kearah Bima.
“aku juga
sama seperti Rei, masih belum terima kalau sesuatu yang hanya boleh aku lihat
harus ikut dinikmati oleh orang lain” jelas Bima dingin.
“kamu
kira?! Karena siapa kami melakukan hal ini? Dan kami berusaha meminta
pertolongan kalian, tapi apa yang kalian lakukan?, dan tadi…aku hampir putus
asa karena kamu! Sewaktu digangguin tadi?! Kamu nggak ada…aku nggak bisa
ngelawan Bim! Dan sekarang kalian malah marah-marah, apa ini balesannya?” air
matanya sudah jatuh tanpa dikomando. “kenapa kalian egois sekali?!”
Bima
meraih Fani dalam pelukannya, menyesali hal yang membuatnya melakukan kesalahan
lagi dengan membiarkan cewek didepannya menangis karenanya.
“Maaf,
maaf karena aku belum bener-bener nerima semuanya Fan, udah ya? Jangan bicarain
itu lagi, aku minta maaf…” Bima mengurai pelukannya, menatap lembut kearah
Fani. Bima duduk membelakanginya. “ayo naik, kita ke Langen, kasian dia”. Fani
mengangguk, tidak ada gunanya, membahas masalah yang telah lewat, karena itu
akan membuat masalah baru yang tidak ada habisnya.
“kamu
berat juga ya?” tanya Bima yang sudah mulai berjalan menaiki lagi puncak semeru
untuk membantu salah satu dari mereka.
“La? Kamu
kenapa?” tanya Rei yang sudah sampai di tempat Langen meringkuk kesakitan.
“sakit
perut!” jawab Langen sambil merintih kesakitan.
“olesin minyak
kayu putih dulu ya? Persedian obatnya udah habis nih” Rei buru-buru menyerahkan
minyak kayu putih itu kepada Langen. Langen menerimanya, lalu mengusapkan
minyak itu disekitar perutnya.
“La, maaf
ya?, aku menyesal, aku tau aku egois sekali, maaf banget La…” Rei menatap
bersalah kearah Langen. Langen menghirup dalam-dalam udara pegunungan lalu
menghembuskannya, ditatapnya Rei dengan mata yang berkaca-kaca.
“aku
ngerti Rei, tapi bisa nggak kamu juga ngertiin aku, seperti yang udah aku
jelasin dulu, aku…”
Rei
menempelkan telunjuknya dibibir langen, mengisyaratkan agar dia tidak
melanjutkan kalimatnya lagi. Setelah itu Rei memeluknya erat, membenamkan wajah
cewek yang sangat dicintainya itu didadanya.
“aku yakin
mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri” Febi menatap Rangga, mereka
memang endengar sesuatu yang terjadi dibelakang mereka, namun mereka memilih
untuk tidak ikut campur lagi kali ini. Rangga mengangguk. Masalah baru akan
timbul apabila masalah yang memang sudah pantas untuk dilupakan dan dijadikan
pelajaran diungkit kembali, karena hal itu hanya akan membuat kekecewaan yang
mendalam J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar