Kamis, 01 Desember 2011

STILL 2nd


Author : Yun Jaejoong Cassiopeia
Still 2nd Half (My Creation)

                Welcome To Mahameru!            
               
Sebelumnya, ada yang perlu diketahui, disini pendakiannya hanya berenam, tidak mengikut sertakan anggota Maranon, ceritanya, mereka membatalkan pendakian untuk bulan ini, sementara Rei tidak mungkin mengingkari janjinya untuk membawa mereka keGunung yang telah dijanjikannya.
Kali ini sebelum pendakian menuju puncak Mahameru atau yang dikenal juga sebagai gunung Semeru, mereka (Bima,Rangga,Rei, Langen,Feby dan Fani) berkumpul dirumah Bima setelah membeli perlengapan dan…oke…tentu saja setelah melakukan ritual penyelamatan kepada Raden kita terhormat yang darah birunya kental sehingga membuat darah itu saking birunya terlihat berwarna HITAM! Yak! Bener banget ! Raden Ajeng Feby-yang dulu pernah berubah sementara, sekarang kembali kesifat ibu bangsawannya yang sedang berdiri memerhatikan wanita setengah baya yang sedang memasak didapur tanpa berniat membantu.
                “liat apa Fan?” tanya Langen disela-sela kesibukannya memasukkan barang-barang yang mereka butuhkan. Sejak sampai dirumah Bima tadi, aktifitas  Fani hanya satu, yaitu membaca lembar demi lembar kertas yang sekarang ada digenggamannya. Belum pernah Langen melihat Fani seserius ini dalam membaca sesuatu, baca buku mata kuliah aja dia jarang ngelihat, dan sekarang? Sebenarnya apa yang sedang dibacanya?. Lama tidak mendapat respon dari Fani, Langen menghentikan acara beres-beresnya, lalu menghampiri Fani yang sedang duduk manis di sofa ruang tamunya Bima. Sementara ketiga Pangeran itu, entah pergi kemana meninggalkan tiga orang cewek dirumah kediaman sang BIMASENA!
“oii! Fan! Budek lo ya? Gue tanya nggak jawab juga, elo baca apa sih serius amet” ujar Langen yang langsung mengambil kertas itu dari tangan si pemilik. Kontan, Fani langsung mengangkat wajahnya, memandangi Langen.kesal.
“La, elo apa-apaan sih, gue belum selese bacanya tau” keluh Fani sambil mencoba mengambil miliknya kembali.
“baca barengan aja” Langen segera duduk disofa disebelah tempat duduk Fani tadi, lalu membaca bagian depan kertas itu. “SEBUAH SISI LAIN DARI PUNCAK MAHAMERU”  Langen mengangkat alisnya, lalu menatap Fani dengan ekspresi bingung. Fani mengernyitkan dahi, mengetahui apa yang ada dipikiran Langen.
“apa? Itu gue temuin di Blog nggak tau namanya” jawab Fani tanpa ditanya terlebih dahulu.
“bukan itu, ini beneran? Gunungnya begini?” tanya Langen mengalihkan tatapannya kearah lembaran kertas setelah dibukanya lagi lembaran kedua.
“iyalah, elo nggak liat tuh sejarahnya? Baca dong! Liat nih!” Fani membuka lembaran selanjutnya, membacakan bagian dari sejarah kecil gunung itu. “setelah nakula dan sadewa tewas, si Arjuna juga ikut tewas karena kedinginan…” Fani tidak melanjutkan kalimatnya, melainkan menatap Langen, Ngeri. “bayangin deh, dia aja yang cowok,terus udah dari jaman kerajaan gitu tewas karena kedinginan? Gimana kita coba? Kebayang nggak sih?” tanya Fani lebih kepada dirinya sendiri, dia melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. “Bi…” terdapat jeda, Fani memerhatikan sekelilingnya, memastikan tiga cowok itu belum kembali, setelah puas dengan keadaan disana, dia kembali memerhatikan kertas itu. “Bima yang merasa tubuhnya paling gede, karena kesombongannya juga tewas waktu nyampe sana!” Fani menatap Langen lagi. “gimana dong? Nasib kita gimana?” tanya Fani menatap hawatir kearah Langen.
“gue juga nggak tau, sejarah disitu udah jelas banget nyebutin orang kuat, lincah, atau kekar sekalipun bisa tewas sebelum sampe sana” jawab Langen menegaskan, dia terlihat sedikit hawatir seperti Fani.
“Baca apaan sih, serius amat?” tanya Rei yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya dan langsung mengambil paksa kertas yang sedang didiskusikan oleh Langen dan Fani, sejenak, Rei membaca bagian depan judul kertas itu, lalu membuka lembaran demi lembaran. Tawa tak tertahankanpun menyembur keluar tanpa memerhatikan wajah hawatir didepannya. “ini..ini siapa yang punya?” tanya Rei masih tertawa.
“gue yang punya” ujar Fani kesal melihat tingkah laku Rei yang sudah keterlaluan, seakan-akan lembaran yang dipegangnya adalah  sebuah lelucon dari Abu Nawas.
“Bim, liat deh, apa yang istri elo baca” kata Rei, lalu melemparkan kertas itu kearah Bima yang sedang mendekat kearah mereka.  Bima menerima kertas itu. bingung. Mau nggak mau dia penasaran juga apa yang membuat Rei sampai tertawa sekeras itu. Bima melakukan hal yang sama, membuka kertas demi kertas, hanya saja responnya berbeda, dia memilih tersenyum selebar-lebarnya kearah Fani, lalu mendekati cewek itu.
“Fani sayaaaaang, untuk apa baca hal beginian?” tanya Bima yang langsung merangkul cewek kesayangannya itu.
“eh…yaaa…abisnya kamu nakutin sih, bilang  track-nya susah abis itu ngeluarin asep beracun lagi, kalo kehirup kan bisa langsung mati” jawab Fani seadanya, kembali Bima tersenyum lalu semakin mempererat rangkulannya.
“kalo mati, kita bisa mati sama-sama lo, pegangan tangan seperti romeo dan juliet” jelas Bima sambil tersenyum  penuh kemenangan. Berhasil membuat dua cewek didepannya menyesal telah menyetujui pendakian yang menurut mereka adalah menantang maut.
“Bima elo jangan nakutin cewek gue juga dong!” teriak Rei kepada Bima sambil menampilkan senyum jailnya, lalu merangkul Langen dan membawanya ketempat semula-tempat beres-beres tadi-. “jangan takut, ada aku yang jagain, okay?” kata Rei penuh sayang sambil menepuk pelan kepala Langen. Langen hanya bisa pasrah, lagipula dia juga pernah melakukan aksi menantang mautnya, dan kali ini dia juga pasti bisa melewatinya.
“sayang, seperti yang udah aku jelasin, tracknya emang susah, tapi percaya deh, pendakian kali ini bener-bener santai, enjoy deh” jelas Bima menghentikan senyum kemenangannya, jadi senyum lembut.
“Bim, tapi…gimana kalau disana ada apa-apa?” tanya Fani lagi, berusaha membatalkan acara yang imposible banget untuk dibatalin. Bima mendesah, lalu merengkuh Fani dalam dekapannya, diciumnya puncak kepala Fani dengan gemas sekaligus sayang.
“ck! Aku akan ngejaga kamu, tenang deh, lagipula Bima yang dimaksudkan disini…” Bima melepaskan pelukan itu lalu mengamati teks yang sepintas dibacanya itu, lalu menatap lurus-lurus kearah Fani. “Bima yang sombong, yang hanya mengandalkan kekuatannya, dan sekarang…Bima yang didepanmu ini berbeda dengan Bima yang sudah lama udah mati, Bima yang sekarang, akan selalu jagain kamu, jadi..jangan takut lagi yah?” Bima memegang kedua bahu Fani lalu mengecup keningnya.
“woi! Elo berdua mesraannya ditunda dulu gih! Tas elo nggak ada isinya tuh!” teriak Rangga yang sudah berdiri disamping Ransel-milik Bima dan Fani- bersama Feby yang memandanginya dengan heran. Dulu pemandangan seperti ini sangat langka dalam kehidupan Fani-Bima, namun sekarang? Pemandangan itu seperti menjadi biasa-biasa saja dan menjadi hal yang wajar.
***
                Setelah sampai di Ranu Pani, desa terakhir di kaki semeru-Di sini terdapat Pos pemeriksaan, terdapat juga warung dan pondok penginapan- mereka memutuskan untuk mengunjungi dua danau yang memang ada di desa ini, yakni danau Ranu Pani yang lebarnya sekitar 1 Ha dan danau Ranu Regulo yang lebarnya kurang lebih 0,75 Ha.
“gimana? Apa seperti yang kalian bayangkan sebelum berangkat tadi?” tanya Rei kepada dua cewek yang dengan girangnya merentangkan kedua tangan mereka, menikmati segarnya udara di sekitar danau Ranu Pani. Mereka berdua mengangguk tanpa menatap kearah Rei, mereka memejamkan matanya, menghirup udara bebas pegunungan yang jauh lebih nikmat dari pada polusi yang ada disekitar Ibukota kita itu.
Bima menepuk bahu Rei. “percuma, ntar aja deh ngomongnya, ikut nikmatin aja” kata Bima lalu merentangkan tangannya sambil berbaring direrumputan hijau menatap langit biru nun jauh disana. Rei mengikutinya. Sementara Rangga-Feby sedang asik berduaan ditepi danau, membicarakan entah apa, yang jelas mereka tampak sangat menikmati kebersamaan itu.
“Mas, danau ini indah ya? Hum….bedanya jau banget yah sama danau buatan” ujar Feby tersenyum sambil menatap Rangga.
“iyalah Feb, nggak akan sebanding walaupun kamu buat danau di sekitar rumahmu” jawab Rangga balas tersenyum. Feby mengalihkan pandangan kebelakang mereka, berdiri Fani dan Langen, dan dua cowok yang tengah berbaring.
“senang melihat mereka seperti itu, sukur ya Mas, nggak ada ribut-ribut lagi, tapi bosen juga kalo mereka mesraannya segitunya, tanpa memikirkan Sikon dulu” ujar Feby berpendapat, Ranga hanya bisa tersenyum mendengarnya.
“mau seperti itu? kita juga bisa semesra mereka?” goda Rangga sambil tersenyum jail kearah Feby. Feby memukul lengannya pelan.
“Mas Rangga!” bentak Feby sedikit mengeraskan volume suaranya.
“iya deh, Maaf, udah..mereka jangan diurusin lagi ya” ujar Rangga lalu kembali dengan aktivitasnya semula.
Setelah merasakan keindahan pertama di gunung itu, mereka melanjutkan perjalanan, menuju gapura “selamat datang”, terus kekiri menuju perbukitan, disini juga terdapat jalan pintas yang biasa dilalui oleh pendaki local,yang tentu saja curam. Dan untuk kali ini mereka tidak akan menggunakan jalur itu, karena sekarang bukan seperti pendakian sebelumnya yang menguras energy dan emosi, pendakian sekarang akan berjalan santai tanpa memperhitungkan waktu lagi.
                Jalur awal landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi dengan tumbuhan alang-alang. Tidak ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100m. Banyak terdapat pohon tumbang, dan ranting-ranting diatas kepala.
Setelah berjalan sekitar 5 Km menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis, Bima menghentikan langkahnya, berjalan menuju kearah bunga edelwis yang tumbuh didekitar mereka, lalu mengambil empat tangkai bunga itu dan menyerahkannya kepada Fani.
“Fan! Sini deh, dulu… aku selalu ngasih kamu bunga ini di rumah, dan sekarang…bunga ini asli baru dipetik, jadi… harus kamu simpan, okay?” tanya Bima sambil memberikan bunga itu kepada Fani. Fani mengangguk lalu tersenyum manis kearah Bima.
“Ehmmm…” tanpa diduga Langen dan Feby berdeham bersamaan, mereka saling pandang lalu tersenyum kikuk.
Seolah mengerti Rei dan Rangga melakukan hal yang sama, memetikkan dua helai bunga kepada pasangan masing-masing. Setelah melaksanakan ritual pemberian bunga kepada masing-masing pasangan mereka melanjutkan perjalanannya.
Setelah melewati lereng bukit itu,lalu akan sampai di Watu Rejeng. Disini terdapat batu terjal yang sangat indah dan Pemandangan yang juga sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit  yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus. Kadang kala juga dapat menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru. Kemudian menuju Ranu Kumbolo yang juga tidak kalah indahnya dengan danau-danau yang telah mereka lewati.
Di Ranu Kumbolo mereka beristirahat dan mendirikan tenda, disini juga terdapat shelter (pondok pendaki), mereka tidak akan meninggalkan keindahan yang telah disediakan di gunung ini. Bima, Rei dan Rangga mendirikan tenda sementara tiga cewek itu memasak untuk makan malam nanti, karena tidak mungkin mereka akan melanjutkan perjalanan  malam-malam begini, karena kalau ia, tujuan utama mereka tidak akan tercapai, karena pada pagi harinya dari sela-sela bukit dapat menyaksikan  matahari terbit yang tak kalah indahnya dengan Sunrise yang ada dipantai.
***
Paginya, Setelah puas menikmati SunRise yang sangat indah, walaupun memang lebih indah dipantai daripada disela-sela perbukitan seperti ini,mereka meninggalkan Ranu Kumbolo dan akan mendaki bukit terjal setelahnya, dengan pemandangan yang sangat indah di belakang ke arah danau.
“kalian bertiga jangan liat kearah belakang aja, didepan juga nggak kalah indahnya, sini deh” ajak Rangga kepada tiga cewek yang masih terpana dengan keindahan yang ada di Ranu Kumbolo, mereka membalik badannya lalu menuju tiga cowok yang tidak terlalu jauh dari arah mereka.
Bima menatap tiga cewek yang ada dibelakangnya, lalu melangkah kesamping, menyisikan ruang untuk ketiga cewek itu agar berdiri sejajar dengannya,dengan Fani berdiri tepat disamping kirinya,diikuti oleh Lngen dan Feby. “Di depan bukit itu ada padang rumput luas, namanya oro-oro ombo” kata Bima menjelaskan sambil menunjukkan arah yang dimaksud. Oro-oro ombo itu dikelilingi oleh bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah,  padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa. Dari balik Gunung Kepolo tampak puncak Gunung Semeru menyemburkan asap wedus gembel.
“itu gas beracunnya?” tanya Fany mendongak kearah Bima, Bima menatapnya lalu tersenyum.
“yah,tapi masih ada yang lebih mematikan daripada itu” jawab Bima sambil tersenyum, sementara Fany sudah bergidik ngeri mendengar kata Kematian yang diucapkan Bima. Rei meliriknya kesal, sudah berapa kali diperingatkan kepada cowok itu supaya tidak membicarakan hal yang akan membuat ketiga cewek itu tegang. “tenang aja sayaaang, yang peting nikmatin aja ya” ucap Bima menenangkan lalu merangkul Fany sambil menikmati udara pagi pegunungan.
Setelah itu, mereka memasuki hutan Cemara yang terkadang dijumpai burung dan kijang. Daerah ini dinamakan Cemoro Kandang. Dari cemoro kandang, mereka akan sampai di Pos Kalimati yang berada pada ketinggian 2.700 m, disini juga dapat mendirikan tenda untuk beristirahat. Pos ini berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara, sehingga banyak tersedia ranting untuk membuat api unggun.
“istirahat disini dulu, sorenya baru ngelanjutin perlanjalan” kata Bima yang bertindak sebagai pemandu.
“kenapa?” tanya Langen kemudian
“karena kita sampai di Arcopodo siang hari, kalau siang hari anginnya cendurung ke arah utara menuju puncak membawa gas beracun dari Kawah Jonggring Saloka.” Jawab Rei yang bertindak menjadi juru bicaranya Bima untuk menjawab pertanyaan dari ceweknya sendiri.
Di Kalimati dan di Arcopodo banyak juga terdapat tikus gunung. Untuk menuju Arcopodo berbelok ke kiri (Timur) berjalan sekitar 500 meter, kemudian berbelok ke kanan (Selatan) sedikit menuruni padang rumput Kalimati. Arcopodo berjarak 1 jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang sangat curam, dengan tanah yang mudah longsor dan berdebu. di Arcopodo juga terdapat tempat untuk berkemah, tetapi dengan kondisi tanahnya kurang stabil dan sering longsor, sebaiknya niat untuk berkemah disini, diurungkan saja dan juga Sebaiknya menggunakan kacamata dan penutup hidung karena banyak abu beterbangan. Arcopodo adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya akan melewati bukit pasir.
***
                Jam setengah empat, mereka kembali melakukan perjalan menuju puncak Mahameru, diperlukan waktu 3-4 jam untuk sampai disana dari Arcopodo, mereka akan melewati bukit pasir yang curam yang mudah merosot dan diperlukan kehati-hatian untuk melewatinya. Bima mengambil waktu pada jam setengah empat agar tidak melewatkan sesuatu yang menakjubkan dari gunung itu sendiri.
                Kemampuan cewek memang tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh makhluk Tuhan yang berkelamin cowok! Disepanjang perjalan ada kalanya diantara cewek tiga itu sering tersandung, atau bahkan bisa robah sewaktu-waktu, terutama Raden Feby yang terhormat, walaupun pernah melakukan pelatihan sebelumnya, kekuatan mereka belum bisa menyeimbangi ketiga cowok itu, maka dari itu tiga cowok itu selalu bersiap untuk menolong mereka kalau sewaktu waktu mereka akan roboh, dan untuk perjalanan kali ini, benar-benar menguras energy, tak ayal beberapa kali mereka beristirahat dibawah pohon rindang yang tanahnya tidak terlalu curam.
Lama berjalan akhirnya apa yang ditunggu-tunggu mereka telah terbit menampakkan keindahan langit yang dipadukan warna jingga dari matahari yang sedang tenggelam, mereka menaiki bukit untuk memperindah pemandangan yang mereka liat, dua gunung yang menjulang tinggi menembus awan, dan asap yang hampir selalu mengepul dipadukan oleh keindahan Sunset.
“suka?” tanya Bima berdiri disamping Fani yang sedang menikmati pesona alam di puncak Semeru. Fani mengangguk tidak bisa berkata-kata lagi karena kagum, pemandangan didepannya sangat eksotis, ingin rasanya dia mempunyai rumah di puncak semeru supaya bisa menikmati alam bebas sepuasnya.
“tunggu disini ya, kami mau cari kayu bakar” ujar Rei kepada mereka bertiga, Langen dan Fani mengangguk cepat. Sementara Febi memilih mengikuti sang pujaan hati.
“aneh tuh cewek, pergi cari kayu aja harus ikut” komentar Langen melihat kepergian keempat cowok itu.
“iyya, kaya’nya profesi kita udah berubah dari mahasiswa jadi penjaga tenda” Fani menggeleng lalu tersenyum simpul.
“kita sih masih mending, dari pada mereka? Pemulung kayu!” Langen tertawa mendengar kalimat yang diucapkannya sendiri.
“ketauan Rei, baru tau rasa lo” ujar Fani ikut tertawa kecil, mereka berdiri tidak jauh ditenda, masih menikmati keindahan Mahameru di malam hari.
“elo cewek yang waktu itu kan?” tanya salah seorang pendaki yang semula berdiri tak jauh dari dua cewek itu, sekarang tepat berada disamping Langen dan Fany.
Mereka menoleh kearah cowok tadi, mereka mundur kebelakang tersentak kaget mengingat wajah didepannya, rombongan pendaki yang sempat melihat-apa yang seharusnya hanya boleh dilihat oleh Bima dan Rei-mereka melakukan aksi gila-gilaan yang menyebabkan perang hebat antara kubu Bima-Rei dengan Langen-Fani.
“yak! Bener kan? Nggak salah lagi!” cowok itu tersenyum kearah dua cewek itu, lalu menoleh kearah teman-temannya. “woii! Ada cewek yang waktu itu! sini! Cepetan!” teriak cowok itu lagi kepada empat temannya yang sedang melakukan aktifitas masing-masing, ada yang memasak air, makan, dan kegiatan lainnya, ada juga yang memang-entah melamunkan apa-hanya duduk santai didepan api unggun.
Mendengar teriakan panggilan dari temannya, empat cowok itu menoleh, seakan mengerti dengan kedipan mata temannya-cowok disamping Langen dan Fani-mereka menghentikan aktivitasnya semula lalu berjalan bersamaan menuju asal suara.
Dan, okay..yang satu ini jangan ditanya lagi, wajah kedua cewek itu sudah memerah karena malu, ingin rasanya mereka menceburkan diri kedalam kawah Semeru itu untuk menutupi wajah mereka.
“La, gimana nih, sumpah! Suer! Tekewer-kewer dah! Gue?! Asli! Malu banget!” ujar Fani didepan telingan Langen sambil menatap sekeliling mereka. Tidak ada sama sekali tanda-tanda kemunculan tiga cowok dan satu cewek yang entah pergi kemana sejak tadi, meninggalkan mereka berdua dengan tugas yang paling mulia yaitu menjaga tenda dari serangan iblis seperti nyamuk atau binatang membahayakan atau bisa juga dari pencuri yang itupun kalau ada yang berminat mengambil sisa makanan dari ransel mereka. Hubungan Feby-Rangga-sejak kejadian waktu itu-semakin lekat saja, seolah tidak bisa dipisahkan, kemanapun Rangga atau Feby pergi, mereka akan selalu bersama dan jadilah sekarang dia juga menyibukkan diri untuk mengikuti calon suaminya MAS RANGGA untuk pergi entah kemana.
“sama! Gue juga malu! Banget malah, empat manusia itu kemanasih?” tanya Langen mengikuti arah pandang Fani mencari-cari tanda kehidupan empat orang dari kubu mereka. Lama menengok kiri-kanan-depan-belakang yang dicari tidak muncul-muncul juga.
“wow! Nggak nyangka ya? Kita bisa ketemu lagi” ujar salah satu cowok paling tinggi diantara teman-temannya yang sudah tiba ditempat mereka.
“suer deh, kalian berdua…” salah satu dari mereka-cowok yang memakai mantel coklat- mengedipkan mata kearah teman yang lainnya, mengisyaratkan agar melanjutkan aktivitas barunya-menggoda dua cewek didepannya-.
“Menggiurkan! ” ujar yang lainnya dengan senyum semerekah Raflesia Arnoldi!
“nggak berminat buka-bukaan lagi nih? Mumpung nggak banyak orang lo” tawar cowok yang paling tinggi itu sambil berjalan mendekati Fani.
“kalian jangan kurang ajar ya!” Fani memberanian diri untuk melawan karena cowok tinggi itu semakin mendekeat kearahnya. Bima! Kamu dimana sih! Keluhnya dalam hati.
“kurang ajar? Yok! Kita kurang ajar ya?” tanya cowok yang merasa tersinggung dengan ucapan Fani kepada salah satu temannya.
Cowok yang bernama Yoyok itu tersenyum sinis. “gitu? Bukannya yang kurang diberi ajaran itu, elo berdua?” tanyanya balik
“heh! Jaga ucapan lo!” bentak Langen mulai emosi, mulai mempertahankan harga dirinya sebagai pewaris IBU KITA KARTINI.
“cewek manis kaya’ elo berdua nggak boleh lo ngasarin orang… cocoknya MANISIN ORANG!” kata cowok yang senyumnya semerakah Raflesia Arnoldi itu sambil menekankan dua kata terakhirnya itu, dia mengeluarkan tawa kecil dari mulutnya, menatap Langen dengan sorot mata meremehkan, dia berjalan, melangkah mendekati Langen. “Yok! Gue mau yang ini! Lebih seksi!” ujarnya lagi tanpa menoleh kearah temannya. Sekarang cowok itu tepat berada didepan Langen, menutupi semua pandangannya dengan tubuh kekar didepannya.
Rei!tolongin! teriaknya dalam hati, berharap pacarnya itu segera membawanya keluar dari situasi ini.
Wajah dua cewek itu memucat karena takut, ditambah dinginnya malam yang merayapi tubuh dan membuat aliran darah mereka seolah membeku.
“yah kalo elo ambil semua, gue dapet yang mana dong?” tanya Yoyok kepada dua cowok yang sudah menuju mangsa masing-masing.
“jadi penonton aja Yok!” sahut teman yang berdiri disampingnya. Yoyok mengangguk lalu tersenyum sinis.
Ini balasan karena cowok kalian udah berani macem-macem sama gue!
                Cowok tinggi itu menggerai rambut Fani, lalu menciumnya helai demi helainya. Dengan cepat Fani menepis tangan cowok itu, lalu mendorongnya kebelakang.
“elo jangan berani macem-macem ya!” ancamnya. Cowok itu menatap lurus kearah Fani, tanpa diduga dia langsung menarik Fani lalu memeluknya erat, Fani berusaha melepaskan diri, Langen yang melihat kejadian itu juga berusaha menolongnya. Tidak lama kemudian cowok yang tadi berada didepan Langen berusaha menciumnya.
“woi! Brengsek!” teriak Bima yang baru sampai ditempat kejadian, dia membuang begitu saja kayu bakar yang dibawanya, bersama Reid an Rangga, mereka menghajar satu-satu dari lima orang itu, menghujaninya dengan pukulan yang tak termaafkan. Setelah lima orang itu memutuskan untuk menyerah, mereka melarikan diri kearah tenda yang tidak terlalu jauh dari tenda milik Bima dan yang lainnya.
                Mereka menuju pasangan masing-masing.
“Rei…” sebelum Langen sempat meneruskan kalimatnya Rei langsung membenamkan wajahnya Langen didadanya. Rei memilih diam, tidak ingin mengatakan apa-apa, dadanya sesak melihat Langen diperlakukan seperti itu.
Sementara itu, Fani langsung memeluk Bima ketika cowok itu sudah berdiri depannya. “kenapa pergi? kenapa telat dateng!” tanyanya disela-sela tangisnya, Fani mengalungkan tangannya dileher Bima menyembunyikan wajahnya disana. Tadi, dia sangat ketakutan, dia tidak tau harus bagaimana, selain mereka dan lima cowok itu, tidak ada lagi yang memasang tenda disana. “a…aku nggak tau apa yang terjadi kalau kamu nggak dateng”.
Hati Bima terasa sakit mendengar kata-kata yang keluar dari cewek yang tidak lama menjadi miliknya itu, dia menyesali perbuatannya sendiri, meninggalkan cewek itu ditempat yang baru dikunjunginya. “udah! Jangan bicara lagi, aku minta maaf” kata Bima merasa bersalah, sambil mengelus kepala Fani. Fani mengurai pelukannya, menatap Bima dengan eksprsi memohon, memohon agar dia tidak meninggalkannya lagi. Bima menyeka air mata Fani.
“janji ya? Jangan tinggalin aku lagi”
Bima diam, tidak menjawab permintaan Fany, dia hanya menatap lurus kearah bola mata cewek itu, tanpa diduga, Bima menarik Fani, menguncinya dalam pelukannya. Rasa bersalahnya membuatnya tidak ingin jauh lagi dari cewek itu.
“ayo makan dulu” ajak Febi yang sudah menyiapkan makanan bersama Rangga.
                ***
                Sejak kejadian diganggunya dua cewek itu, Bima-Rei memilih untuk diam, tidak ingin berbicara panjang lebar dengan pasangan masing-masing.
“yang! Dari tadi diem mulu, kenapasih?” tanya Langen menepuk pelan bahu Rei. Rei menoleh dan hanya menyunggingkan senyum tipis diwajahnya, dari bola matanya terpancar raut kekecewaan yang masih belum bisa diikhlaskan sampai sekarang, begitu juga dengan Bima, sifat dua cowok itu benar-benar aneh, padahal sebelumnya mereka tidak pernah seperti ini, apalagi alasan yang membuat mereka tidak ingin berbicara dengannya? Mereka sudah berdamai dan saling memaafkan, tapi sekarang? Ada apa dengan dua cowok itu?
“Kita turun sekarang” kata Bima dingin.
“Rei, kenapa nggak bicara-bicara juga? Kamu marah? Karena apa?” tanya Langen yang masih tidak terima didiamkan seperti itu.
“sepertinya keadaan berbalik lagi Feb” kata Rangga menoleh kearah Feby yang bersiap untuk turun disampingnya. Feby mengangguk.
“iya Mas, udah deh, bosen aku liat mereka seperti itu terus, mereka bukan anak kecil lagi, dan sekarang saatnya mereka untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri” ujar Feby yang disambut dengan anggukan persetujuan dari Rangga.
“Ya udah, kita turun duluan aja, biar mereka belakangan” Rangga merangkul bahu Feby, lalu berjalan mendahului Bima.
“Bim, dari tadi kamu nggak berminat nih ngambil foto kita disini, pemandangannya lagi bagus lo…” goda Fani meraih lengan Bima, Bima menoleh, dilepaskannya genggaman Fani dari lengannya,dengan cepat diciumnya kening gadis itu lalu ditepuknya kepala Fani pelan, Fani hanya bisa melongo heran dengan yang dilakukan Bima padanya, tanpa tersenyum seperti biasanya, Bima berjalan, memimpin untuk turun dari puncak semeru ini. Rei mengikuti tanpa menjawab pertanyaan Langen.
“Rei, kamu kenapasih?!” tanya Langen yang sudah tidak sabar dengan perilaku Rei yang menurutnya kekanakan itu.
Rei mendesah, lalu menatap kearah Langen “aku belum bisa nerima itu, setiap mikirin apa yang udah kamu lakuin digunung dulu…itu sebabnya kan? Udah berapa kali aku peringetin jangan melakukan hal itu, dan kamu masih saja terus….hmmm…udah lah, ayo pulang” Rei berbalik lalu mengikuti Bima.
“Fan, kenapa kaya’ gini lagi?” tanya Langen menatap sedih sahabatnya. Sepertinya Rei lah yang paling terhina oleh kejadian itu. Fani merangkul Langen.
“nggak tau juga La, elo liat sendiri kan? Bima juga kaya’ gitu” keluh Fani “mending ikutin mereka ja dulu, ayo” ajak Fani kepada Langen
“aduh! Bentar Fan! Perut gue sakit banget!” langen menundukkan tubuhnya sambil memegangi perutnya yang sakit.
“loh? Tadi nggak kenapa-kenapa? elo lagi Mens ya?” tanya Fani yang ikut menunduk untuk melihat raut wajah Langen.
“iya nih! Sumpah, perut gue sakit banget!” rintih Langen, dia tertuduk, masih memegangi perutnya.
“aduh, gimana dong, obatnya ada di Ransel yang dibawa Bima, eh ya…bentar deh, tunggu disini,gue nyusul Bima bentar” tanpa menunggu respons Langen, Fani berlari dikegelapan malam, menjejari langkah panjang cowok yang tidak jauh dari mereka.
“Bima! Rei! Tunggu!” kata Fani sedikit mengeraskan suaranya. Namun tidak ada jawaban dari dua orang didepan, Fani mempercepat langkahnya tidak peduli dengan jalan terjal yang dilewatinya. “Bim! Bima! Aww!” saking cepatnya berlari di jalan menurun itu, Fani tersandung oleh ranting patah yang berserakan disekitar jalur pendakian. Fani berguling ditanah, tidak bisa menolong dirinya sendiri, tubuhnya dengan mudah melayang jatuh, ketika keseimbangannya sudah tidak bisa dijaga lagi. Bima menghentikan langkahnya lalu menoleh kearah suara gaduh dibelakangnya. Tanpa berpikir lagi, Bima berlari kearah Fani yang tertelungkup di lereng gunung.
“fan…kamu…kamu nggak apa-apa?” tanya Bima hawatir, Bima memegang bahu Fani, menempelkan tangannya diwajah cewek itu. Fani yang kesal dengan tingkah Bima sebelumnya, menepis paksa tangan yang menyangganya itu.
“kenapa kamu egois sekali!” bentak Fani sambil memukul dada cowok itu, air matanya sudah metes, bukan hanya karena perilaku Bima yang aneh, melainkan karena perihnya luka yang berada disekitar tubuhnya.
“Fan? Elo nggak apa-apakan?” tanya Rei yang baru saja sampai ditempat Fani. Dengan kesal Fani mendongak menatap tajam kearah Rei.
“apa-apa lah?! Begok banget sih lo!”
Kalimat tadi membuat Bima tertawa kecil. “kenapa ketawa? Lucu kalo ngeliat aku jatuh!” bentak Fani lagi, Bima menghentikan tawanya, berbalik menatap tajam kearah Fani, Fani mengalihkan tatapannya kearah Rei, dia masih belum berani membalas tatapan Bima. “Langen sakit tuh, elo berdua emang nggak punya perasaan!” tegas Fani lebih menyalahkan Bima namun Rei lah yang menjadi korban kambing hitam Fani. Tanpa memperdulikan ucapan Fani, Rei berlari menuju tempat mereka semula.
“udah berhenti marahannya?” tanya Bima menatap Fani dingin.
“walaupun aku jatuh ke jurang juga kamu nggak akan pedulikan?!” tanya Fani menatap kearah lain.
“loh? Kamu bicara sama siapa yang? Aku ada didepan lo bukan disamping kamu” tanya Bima dengan seulas senyum geli tersungging dibibirnya. Fani menatapnya kesal.
“iya! Aku bicara sama makhluk gede berbulu seperti manusia kingkong!” ujar Fani yang setelah mengatakan hal seperti itu, langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
“ulangi? Kamu bilang apa?” Tanya Bima tak kalah dingin dengan udara malam yang menusuk tulang. Bima mengangkat dagu Fani menjajarkannya dengan wajahnya. “liat sini” dengan terpaksa Fani menatap takut-takut kearah Bima.
“aku juga sama seperti Rei, masih belum terima kalau sesuatu yang hanya boleh aku lihat harus ikut dinikmati oleh orang lain” jelas Bima dingin.
“kamu kira?! Karena siapa kami melakukan hal ini? Dan kami berusaha meminta pertolongan kalian, tapi apa yang kalian lakukan?, dan tadi…aku hampir putus asa karena kamu! Sewaktu digangguin tadi?! Kamu nggak ada…aku nggak bisa ngelawan Bim! Dan sekarang kalian malah marah-marah, apa ini balesannya?” air matanya sudah jatuh tanpa dikomando. “kenapa kalian egois sekali?!”
Bima meraih Fani dalam pelukannya, menyesali hal yang membuatnya melakukan kesalahan lagi dengan membiarkan cewek didepannya menangis karenanya.
“Maaf, maaf karena aku belum bener-bener nerima semuanya Fan, udah ya? Jangan bicarain itu lagi, aku minta maaf…” Bima mengurai pelukannya, menatap lembut kearah Fani. Bima duduk membelakanginya. “ayo naik, kita ke Langen, kasian dia”. Fani mengangguk, tidak ada gunanya, membahas masalah yang telah lewat, karena itu akan membuat masalah baru yang tidak ada habisnya.
“kamu berat juga ya?” tanya Bima yang sudah mulai berjalan menaiki lagi puncak semeru untuk membantu salah satu dari mereka.
“La? Kamu kenapa?” tanya Rei yang sudah sampai di tempat Langen meringkuk kesakitan.
“sakit perut!” jawab Langen sambil merintih kesakitan.
“olesin minyak kayu putih dulu ya? Persedian obatnya udah habis nih” Rei buru-buru menyerahkan minyak kayu putih itu kepada Langen. Langen menerimanya, lalu mengusapkan minyak itu disekitar perutnya.
“La, maaf ya?, aku menyesal, aku tau aku egois sekali, maaf banget La…” Rei menatap bersalah kearah Langen. Langen menghirup dalam-dalam udara pegunungan lalu menghembuskannya, ditatapnya Rei dengan mata yang berkaca-kaca.
“aku ngerti Rei, tapi bisa nggak kamu juga ngertiin aku, seperti yang udah aku jelasin dulu, aku…”
Rei menempelkan telunjuknya dibibir langen, mengisyaratkan agar dia tidak melanjutkan kalimatnya lagi. Setelah itu Rei memeluknya erat, membenamkan wajah cewek yang sangat dicintainya itu didadanya.
“aku yakin mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri” Febi menatap Rangga, mereka memang endengar sesuatu yang terjadi dibelakang mereka, namun mereka memilih untuk tidak ikut campur lagi kali ini. Rangga mengangguk. Masalah baru akan timbul apabila masalah yang memang sudah pantas untuk dilupakan dan dijadikan pelajaran diungkit kembali, karena hal itu hanya akan membuat kekecewaan yang mendalam J  
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar